Halaman

Rabu, 08 Desember 2010

Tranmigrasi di Indonesia Di Zaman Depresi Ekonomi Dunia

Terjadinya arus migrasi penduduk yang deras dari pulau Jawa untuk menjadi kuli kontrak di Sumatera berlangsung menjelang terjadinya depresi ekonomi dunia. Himpitan kesulitan hidup di Jawa telah mendorong mereka secara mandiri dan sukarela bermigrasi ke Sumatera. Hal ini, pada akhirnya menyebabkan pemerintah kolonial Belanda mengubah kebijakan kolonisasi. Pada masa peralihan antara tahun 1927- 1930 pemerintah hanya menyediakan biaya transportasi untuk mereka yang mengikuti program kolonisasi.
Depresi ekonomi yang terus berlanjut telah berpengaruh terhadap perekonomian pemerintah kolonial Belanda. Permintaan tenaga kerja dari perkebunan-perkebunan di Sumatera menjadi kurang, bahkan sebagian mengurangi tenaga kerjanya, sehingga banyak kuli kontrak yang kembali ke pulau Jawa. Pemerintah Belanda mulai merasa perlu mengintensifkan kembali kolonisasi. Pada periode ini ada penekanan untuk mengkaitkan kegiatan kolonisasi dengan upaya membangun basis penyediaan pangan khususnya beras untuk pulau Jawa.
Pengaruh depresi ekonomi dalam memperlancar kolonisasi cukup signifikan. Koloniasi juga dapat terus belanjut hanya dengan sedikit bantuan finasial dari pemerintah. Mereka yang tertarik pindah hanya diberikan pinjaman uang 22-25 gulden setiap keluarga untuk biaya transportasi, pembelian alat-alat pertanian, yang harus dikembalikan dalam jangka waktu 2-3 tahun. Di tempat yang baru pemerintah hanya memberikan lahan secara gratis untuk diolah.
Sejak tahun 1930 terjadi arus perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa melalui kolonisasi secara besar-besaran. Pemerintah pun memperketat persyaratan untuk mengikuti kolonisasi yaitu: (1) peserta harus benar-benar petani, sebab jika bukan dapat menyebabkan ketidakberhasilan di lokasi kolonisasi, (2) fisik harus kuat agar bisa bekerja keras, (3) harus muda untuk menurunkan fertilitas di pulau Jawa, (4) sudah berkeluarga untuk menjamin ketertiban di lokasi baru, (5) tidak memiliki anak kecil dan banyak anak karena akan menjadi beban, (6) bukan bekas kuli kontrak karena dianggap sebagai propokator yang akan menimbulkan keresahan di pemukiman baru, (7) harus waspada terhadap “perkawinan koloniasai” sebagai sumber keributan, (8) jika wanita tidak sedang hamil karena diperlukan tenaganya pada tahun-tahun pertama bermukim di tempat baru, (9) jika bujangan harus menikah terlebih dahulu di Jawa karena dikhawatirkan mengganggu istri orang lain, dan (10) peraturan tersebut tidak berlaku jika seluruh masyarakat desa ikut kolonisasi.
Sejalan dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dampak depresi ekonomi dunia, sementara minat masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya merubah pola kolonisasi untuk menekan biaya dengan sistem bawon. Pemukim kolonisasi terdahulu diharapkan memakai tenaga kerja pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan gotong-royong.
Pemekaran daerah kolonisasi baru dibuat tidak jauh dari kolonisasi lama. Penempatan pemukim baru dilakukan pada bulan Februari-Maret saat menjelang musim panen padi di pemukiman lama, sehingga mereka bisa ikut bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau lima bagian pemilik. Pada saat itu sistem bawon di pulau Jawa umumnya menggunakan perbandingan 1:10.
Peserta kolonisasi mandiri pada periode ini boleh dikatakan lebih berhasil dibandingkan dengan peserta sebelumnya, walaupun masih ada beberapa yang kembali ke pulau Jawa. Kondisi demikian, memberikan daya tarik pada masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi. Akhirnya dikembangkan daerah kolonisasi baru di Palembang, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi, dan Kalimantan.
Depresi ekonomi dunia selain dirasakan oleh pemerintah pada waktu itu, juga sangat menyulitkan banyak penduduk di pulau Jawa. Kesempatan kerja di Jawa dirasakan semakin sulit untuk diperoleh, himpitan untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin mencekam. Sehingga ketika mendengar cerita mengenai keberhasilan orang-orang di seberang yaitu di daerah kolonisasi, mereka tertarik untuk mengikutinya. Harapan memperoleh lahan pertanian yang luas, menjadi motivasi utama mereka untuk mengubah nasib.
Rupanya kesulitan hidup di pulau Jawa telah berpengaruh besar terhadap derasnya migrasi penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa melalui kolonisasi. Walaupun sebetulnya, sistem bawon sebagai kebijakan kolonisasi pada periode ini dirasakan memberatkan. Misalnya keluarga yang telah satu tahun bermukim di daerah kolonisasi harus bersedia menampung pemukim baru. Di daerah irigasi tiap keluarga baru harus ditanggung oleh tiga keluarga lama, sementara di daerah tegalan satu keluarga baru ditanggung oleh empat keluarga lama.
Walaupun pada pelaksanaan kolonisasi periode ini jumlah penduduk yang dipindahkan dari pulau Jawa ke daerah kolonisasi cukup banyak dibandingkan dengan periode sebelumnya, namun kalau dilihat dari aspek pengendalian penduduk pulau Jawa belum bisa disebut berhasil. Pendapat ahli kependudukan Belanda pada saat itu, jika ingin mengendalikan penduduk Jawa, penduduk yang dipindahlan harus mencapai 80.000 keluarga per tahun.
Pemerintah kolonial Belanda sampai menjelang akhir masa kekuasaannya, hanya mampu memindahkan penduduk pulau Jawa kurang dari seperlima dari target yang diharapkan per tahunnya. Data lain menunjukkan antara tahun 1905-1941 penduduk yang berhasil dipindahkan hanya berjumlah 189.938 orang. Akan tetapi jika dilihat dari aspek peningkatan kesejahteraan peserta kolonisasi, mereka mungkin dapat disebut lebih baik tingkat kehidupannya dibandingkan pada saat berada di daerah asalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar